Seorang pemuda Indonesia belajar di Jerman. Di lingkungannya, ia
dianggap berbakat, karena masih muda, cerdas, dan memiliki karakter
baik. Ia pun mendapatkan beasiswa penuh untuk belajar lagi. Harapan
banyak orang bertumpu pada pundaknya.
Sesampainya di Jerman, ia kaget. Iklim individualisme dan otonomi
individu yang begitu tinggi membuatnya sulit untuk membangun hubungan
dengan orang lain. Beberapa kali, ia mencoba menjalin relasi, namun
gagal. Ia pun berhenti mencoba.
Di Jerman, ia berjumpa dengan satu kelompok yang memiliki latar
belakang agama sama dengannya. Daripada membangun relasi yang lebih
luas, ia merasa lebih nyaman bergaul dengan mereka. Maka, aktivitasnya
pun hanya dilakukan dalam konteks hubungan dengan kelompok agama
tersebut. Semakin hari, ia semakin menutup diri, dan membenci
orang-orang yang berasal dari latar belakang lain.
Ini kisah nyata, dan banyak terjadi pada orang-orang yang sedang
merantau ke negeri asing, entah untuk bekerja, atau belajar. Justru
karena merantau ke negeri asing, orang malah semakin menjadi tertutup
dan fanatik dengan identitas kelompoknya sendiri. Di tengah masyarakat
asing yang terdiri dari beragam kultur, orang justru membentuk
kelompok-kelompok kecil yang serupa dengannya, dan menutup diri dari
hubungan yang lebih luas dengan kelompok lain. Apa yang sebenarnya
terjadi?
Era Fanatisme?
Saya rasa, awal abad 21 ini bisa dibilang sebagai era fanatisme.
Setelah dua pesawat menghantam Word Trade Center di New York pada 2001
lalu, dunia seolah dikejutkan oleh fanatisme agama dan politik yang
berakar begitu dalam pada kelompok-kelompok radikal di berbagai belahan
dunia. Fanatisme itu berujung pada tindakan-tindakan yang mengancam
keselamatan orang lain, terutama orang-orang yang memiliki identitas
berbeda dengan kelompok tersebut.
Di daerah-daerah berbahasa Arab, atau yang lebih kita kenal sebagai
Timur Tengah, perang dan ketegangan antara beragam kelompok fanatik
terus berlangsung. Dalam konteks ini, kita bisa menemukan dua tipe
fanatisme, yakni fanatisme agama dan fanatisme politik. Di Mesir,
misalnya, ada kekhawatiran besar, bahwa negara tersebut akan tersungkur
ke dalam fanatisme religius yang bisa membangkitkan konflik raksasa
dengan negara sekitarnya.
Di Indonesia, beragam gerakan yang amat bertengangan dengan UUD 1945
justru tumbuh menjamur di berbagai pelosok negeri. Pemerintah seolah
membiarkan, dan masyarakat pun akhirnya hidup dalam suasana resah terus
menerus. Diskriminasi dan rasisme mengental begitu dalam di dalam
ingatan kolektif sekaligus aktivitas sehari-hari orang Indonesia. Orang
merasa takut, hanya karena ia memiliki identitas yang berbeda. Fanatisme
bagaikan api yang siap disulut oleh bensin untuk menjadi api raksasa
yang menghancurkan sekitarnya.
Pilar Sosiologis
Apa itu fanatisme, dan mengapa orang bisa menjadi fanatik? Fanatisme,
pada hemat saya, adalah suatu sikap ekstrem di dalam memeluk pandangan
tertentu, serta bersedia mati dan membunuh orang lain atas nama
pandangan yang dianut secara ekstrem dan keras tersebut. Akar-akar
fanatisme terletak pada tiga pilar, yakni pilar sosiologis, pilar
epistemologis, dan pilar psikologis manusia yang ketiganya, secara
bersamaan, mendorong orang untuk menjadi fanatik. Pada level sosiologis,
kita bisa memetakan faktor-faktor internal di dalam proses globalisasi
dan pengaruh sosial yang membuat orang menjadi fanatik.
Di era globalisasi sekarang ini, ada satu paradoks yang tertancap
begitu dalam di dalam rahim bangsa-bangsa dunia, yakni paradoks
mengglobal dan melokal. Disebut paradoks, karena ada dua kejadian yang
kontras berbeda, namun terjadi berbarengan. Justru di tengah dunia yang
semakin terhubung oleh kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi,
orang semakin takut untuk bersikap terbuka, dan malah menutup dirinya di
hadapan perbedaan.
Orang takut akan keluasan dan keterbukaan, karena dua hal itu
mengancam kepastian identitas yang telah ia pegang era-erat selama ini.
Akibatnya, ketika dunia semakin rumit dan canggih, ia justru semakin
sempit dan takut dengan keterbukaan dunia itu. Semakin dunia ini
terbuka, semakin banyak orang yang memilih untuk hidup tertutup, dan
memeluk erat-erat identitas lokalnya. Inilah salah satu pilar sosiologis
yang mendorong orang untuk menjadi fanatik.
Dalam arti ini, kita bisa mengatakan, bahwa pengaruh sosial amat kuat
mendorong orang untuk menjadi fanatik. Keberagaman itu mengancam
kepastian identitas, sehingga orang, karena pengaruh lingkungan
sosialnya, justru menolak keberagaman, dan semakin keras dan ekstrem
dengan identitas tradisionalnya. Fanatisme tidak ada begitu saja,
melainkan dipelajari dari proses-proses sosial yang terjadi di
masyarakat, seperti melalui pola asuh orang tua, dan kebencian kelompok
yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. (Margaretha,
2012)
Pilar Epistemologis
Pada pilar sosiologis, kita melihat bagaimana pengaruh globalisasi
dan lingkungan sosial turut mendorong orang untuk menjadi fanatik.
Namun, pilar itu saja tidak cukup untuk menjelaskan akar-akar fanatisme.
Orang bisa hidup di linkungan sosial yang fanatik, dan mengalami dengan
kencang proses globalisasi, tetapi tidak menjadi fanatik, dan justru
malah menjadi terbuka. Pada titik ini, pilar epistemologis bisa
menjelaskan proses-proses yang lebih dalam, yang mendorong orang menjadi
fanatik.
Seorang fanatik melihat manusia lain tidak sebagai manusia, melainkan
sebagai sesuatu yang lain, yang bukan manusia. Cara pandang yang
negatif ini dibentuk oleh prasangka yang lahir dari dendam dan trauma
atas kejadian negatif yang pernah terjadi sebelumnya. Orang tidak lagi
melihat dunia secara jernih, melainkan secara gelap, karena trauma dan
dendam, baik itu dendam pribadi maupun dendam kelompok, yang
dimilikinya.
Darimana trauma dan dendam itu lahir? Kesenjangan sosial, ekonomi,
dan politik membuahkan begitu banyak kepahitan di dunia. Negara-negara
yang lemah ditindas secara ekonomi dan politik oleh negara-negara yang
kuat. Jejak-jejak penjajahan masih begitu terasa di situasi politik
dunia sehari-hari, maupun di dalam cara berpikir manusia-manusia di
dunia. Karena kesenjangan dan kesewenang-wenangan politik yang terjadi,
banyak ketidakadilan yang kemudian menciptakan dendam dan trauma begitu
dalam bagi korban-korbannya.
Dipicu oleh ketidakadilan global, dendam, dan trauma yang terjadi,
orang lalu membangun kelompok-kelompok untuk melawan. Di dalam proses
membangun kelompok tersebut, mereka menggunakan kesamaan identitas untuk
mengikat serta mengumpulkan orang. Dalam arti ini, fanatisme menjadi
simbol untuk melakukan perlawanan politik terhadap ketidakadilan global
yang terjadi. Pengaburan cara pandang, sehingga kini diwarnai dendam,
prasangka, dan trauma, adalah pilar epistemologis yang mendorong orang
untuk menjadi fanatik.
Pilar Psikologis
Menurut saya, pilar psikologis ini berperan lebih besar dan mendalam
daripada pilar-pilar lainnya. Pilar ini tertanam di dalam jiwa manusia,
yakni di dalam kodratnya sebagai manusia, atau insting-insting
alamiahnya. Pada titik ini, kita bisa menengok insting mempertahankan
diri yang secara alamiah memang menjadi bagian dari diri manusia.
Fanatisme, dalam arti ini, adalah suatu cara untuk mempertahankan
diri dan keterasingan dan kesepian jiwa. Orang belajar, bahwa mengikat
erat dirinya secara ekstrem terhadap satu pandangan atau kelompok
tertentu bisa membawa keselamatan dan ketenangan bagi jiwanya. Insting
dasar manusiawinya lalu bekerja, dan menggunakan pola ini, yakni sikap
fanatik, sebagai sesuatu yang normal, dan bahkan harus dilakukan demi
mempertahankan diri.
Insting ini lalu dibarengi dengan ketakutan akan yang lain, yang
memang sudah selalu ada di dalam diri manusia. Ketika berhadapan dengan
yang berbeda, atau yang lain, ada dua kecenderungan manusia, yakni
penasaran, lalu menjangkaunya, atau justru menjauh, dan menjaga jarak.
(Margaretha, 2012) Di dalam jiwa orang fanatik, terutama setelah
mengalami dendam, trauma, dan pengaruh-pengaruh sosial, orang otomatis
akan mengambil sikap kedua, yakni menjauh dan menjaga jarak.
Persentuhan dengan yang lain, yakni orang-orang yang berbeda, menjadi
tabu. Peleburan identitas dan hubungan dengan orang-orang yang berbeda
menjadi sesuatu yang mustahil. Ketakutan akan yang berbeda menjadi cara
berhubungan yang normal di dalam hidup sehari-hari. Fanatisme pun
bertumbuh di dalam jiwa orang, dan siap melancarkan efek-efek
menghancurkan yang ada di dalamnya.
Pada dasarnya, orang menginginkan kebebasan, dan bersedia mati untuk
mencapainya. Ini bisa terlihat dari upaya revolusi politik dari berbagai
bangsa dunia dari penjajahan, terutama pada awal dan pertengahan abad
20 lalu. Namun, ada sisi gelap dari kebebasan, dan orang takut untuk
menghadapinya, yakni pertanggungjawaban, keberanian untuk berpikir
sendiri, dan kemampuan untuk mempertimbangkan berbagai kemungkinan
secara seimbang. Orang mengalami ketakutan dan kekhawatiran besar,
ketika kebebasan melingkupinya.
Ketakutan tersebut mendorongnya untuk menyerahkan kembali kebebasan
tersebut, dan memilih untuk tunduk pada ajaran kelompok maupun
pandangan-pandangan yang lain yang “lebih pasti” di dalam melihat dunia.
Pada titik ini, kita bisa bilang, bahwa akar dari fanatisme, yakni
sikap ekstrem di dalam menghayati suatu pandangan, adalah kerinduan
manusia untuk ditaklukkan oleh kelompok, dan ketakutannya akan kebebasan
hidup.
Kebebasan itu mengerikan. Berpikir itu sulit dan melelahkan. Tanggung
jawab atas pilihan yang telah diambil itu membebani jiwa. Maka, orang
lebih memilih untuk takluk ke dalam ajaran kelompok yang bersifat mutlak
dan pasti, serta mengingkari kebebasannya sendiri. Di alam kebebasan
dan keterbukaan, orang malah rindu untuk ditaklukkan oleh kepastian dan
kemutlakkan, yang merupakan jalan tol menuju fanatisme.
Fanatisme adalah gejala manusiawi. Segala upaya untuk memahami dan
membongkarnya pun perlu menyadari aspek-aspek manusiawi, seperti
lingkungan sosial, cara pandang, serta insting-insting dasariah manusia.
Di dunia yang semakin terhubung dan terbuka ini, jalan tol untuk
menjadi fanatik justru semakin mudah dan murah. Kita harus berjaga dan
waspada selalu.
0 Response to "Akar-akar Fanatisme"
Post a Comment
Tinggalkan Pesan Gan, Supaya saya bisa kunjung balik Pesan anda begitu berarti bagi kemajuan blog ini,